Lihat. Rata-rata pohon-pohon yang ada di halaman rumah saya sudah ada sejak saya kecil waktu pertama kali kami pindah ke rumah ini. Misalnya saja pohon mangga manalagi, pohon rambutan, dan pohon jeruk limau. Selain itu, ada beberapa pohon yang baru ditanam belakangan, tapi saya sadar kapan pohon itu ditanam, seperti dua pohon durian yang dengan penuh harap ditanam Papa di halaman depan dan belakang rumah kami. Mungkin harapan Papa terhadap bibit pohon durian ini untuk berbuah, sebesar--atau bahkan lebih besar--dari harapannya terhadap anak sulungnya untuk dapat tumbuh menjadi orang yang berhasil dalam hidup. 20 tahun kemudian, sepertinya kedua harapan itu belum bersambut. Selain pohon buah-buahan, ada juga tanaman hias yang dari kecil saya suka, yaitu ficus elastica atau karet merah yang menghuni halaman depan. Saya selalu suka bagaimana bunganya yang merah dan panjang menjadi aksen dengan dikelilingi daun-daun ovalnya yang lebar. Ada juga pohon bunga kertas (bougainvillea spectabilis) di halaman belakang yang saat sedang berbunga membuat halaman kami menjadi lebih berwarna, sebelum saya dan sepupu-sepupu saya memetik bunganya untuk main masak-masakan.
Lain dengan tanaman-tanaman tersebut di mana saya punya kenangan masa kecil yang cukup terang bersama mereka, ada satu tanaman yang saya tidak ingat kapan dia ditanam. Yang saya bisa bilang dengan pasti, dia tidak termasuk dalam tanaman angkatan awal seperti mangga manalagi, rambutan, dan jeruk limau. Tanpa saya sadari tiba-tiba pohon ini hadir dan bahkan menjadi bagian yang penting di ekosistem halaman rumah kami. Pohon tersebut adalah pohon belimbung wuluh atau nama latinnya A. blimbi. Pohon ini juga dikenal dengan sebutan belimbing sayur, belimbing buluh, atau belimbing botol. Pohon ini tidak ada di masa kecil saya (dengan "masa kecil", yang saya maksud adalah masa-masa TK sampai SD), karena yang saya ingat, hubungan saya dengan belimbing apapun hanyalah memetik belimbing di halaman rumah nenek menggunakan gantar. Itupun belimbing buah, bukan belimbing sayur (side note: sebenarnya penentuan sesuatu disebut sebagai sayur atau bukan adalah konsep yang sama sekali dibuat-buat oleh manusia alih-alih pengkategorian berdasarkan morfologi si tumbuhan, tapi ini bisa jadi satu bahasan sendiri).
Lantas dari mana datangnya pohon ini sehingga bisa sampai di halaman rumah saya? Tidak ada yang tahu. Yang saya tahu, pohon ini bentuknya tidak seindah dan semenarik karet merah atau bunga kertas. Yang saya tahu, buahnya tidak sedinanti-nantikan manalagi dan rambutan. Yang saya tahu, dulu saya benci dengan pohon belimbing wuluh ini.
Letak pohon ini di halaman adalah tepat di depan jendela kamar saya, jadi ketika dia semakin besar dan semakin tinggi, dia menghalangi cahaya matahari untuk masuk ke dalam kamar saya. Kamar saya yang dulu sangat berlimpah cahaya alami, jadi sedikit gelap karena cahaya yang masuk dari jendela tidak seberlimpah pada masa sebelum ada pohon ini.
Lalu seperti karakter di TV Series, lama kelamaan pohon belimbing wuluh mendapat character development. Ia berkembang menjadi pohon utama--bukan lagi figuran--di skena halaman depan rumah. Ia menjadi pohon yang paling dicintai keluarga dan juga tetangga-tetangga saya. Buat kamu yang belum tahu, belimbing wuluh memiliki buah lonjong-bantet yang isinya berair dan memiliki tekstur seperti belimbing. Bedanya dengan belimbing buah, belimbing wuluh memiliki rasa yang amat asam, sehingga tidak cocok untuk dimakan langsung. Walaupun, persis untuk alasan itu, saya biasa memanfaatkannya untuk mengerjai teman yang belum tahu dan menyuruh mereka untuk menggigit langsung buah sialan ini lalu menertawakan lipatan-lipatan muka khas yang muncul ketika mereka merasakan rasa asam yang teramat sangat pada reseptor rasa di lidah mereka. Sepupu-sepupu kecil saya pernah memanfaatkan buah belimbing wuluh untuk membuat challenge sesama mereka. Mereka sudah tahu rasanya, tapi mereka membuat kontes siapa yang bisa menggingit buah itu tanpa mengeluarkan ekspresi yang kelewat lucu, dia lah pemenangnya. Entahlah apakah ini cara bocil zaman sekarang untuk menunjukkan dominasi, saya tidak tahu.
Lakon kejahilan, prank, dan challenge tersebut tentu bukan kebermanfaatan utama dari buah belimbing wuluh. Karena rasa asam dan segarnya, belimbing wuluh sangat cocok digunakan sebagai bahan campuran sambal. Tidak cuma rasa pedas, sambal dengan campuran belimbing wuluh juga memiliki rasa segar yang kaya dan khas. Nenek saya biasanya berhenti di depan pohon ini untuk memetik buahnya di akhir sesi jalan kaki paginya untuk kemudian dibuat nyambel. Begitu juga dengan orangtua dan bibi-bibi saya yang juga secara reguler menggunakan belimbing wuluh untuk campuran sambal mereka.
Lokasi pohon belimbing wuluh yang ada di halaman depan rumah dan terlihat dari balik pagar juga mengundang tetangga-tetangga saya untuk memetiknya. Saya lah yang biasa menjawab "assalamualaikum" mereka dengan membukakan pintu depan sebelum mereka mengutarakan maksudnya untuk meminta beberapa buah belimbing wuluh untuk masakannya karena posisi kamar saya yang berada di bagian depan. Hanya dibutuhkan sedikit belimbing wuluh untuk menjadi campuran sambal dan ada banyak sekali buah belimbing wuluh dalam satu pohon, sehingga kami tidak akan pernah kehabisan walaupun ada yang memetik agak banyak dengan wadah plastik. Value-nya yang tidak terlalu tinggi--setidaknya dibandingkan buah mangga atau rambutan--juga membuat tetangga tidak memiliki rasa 'gak-enakan' untuk memintanya. Selain itu letak buahnya yang berada di batang dan tidak terlalu tinggi juga ideal untuk dipetik siapa saja mulai dari orang dewasa sampai bocah yang ingin membuat challenge.
Lambat laun, pohon belimbing wuluh menjadi pohon yang paling dicintai keluarga dan tetangga saya dan mungkin saja sekarang menjadi pohon dengan kebermanfaatan paling tinggi di antara pohon-pohon lainnya di rumah saya, baik dalam hal jangkauan manfaat dan juga konsistensi, karena pohon ini berbuah hampir sepanjang tahun. Karena alasan itu juga, lambat laun saya tidak lagi membenci pohon yang tiba-tiba ada ini. Ia memang sedikit menghalangi cahaya matahari untuk masuk ke dalam kamar saya, tapi sebagai gantinya dia menerangi hari-hari nenek saya di sesi jalan kaki paginya, di samping manfaat-manfaat lain, dan itu adalah pertukaran yang sebanding.
Lucu memang bagaimana kadang-kadang saya merasa saya memiliki beberapa rencana sempurna yang sudah di-set dari awal, seperti bagaimana pohon mangga manalagi, rambutan, dan bahkan pohon durian yang memang sudah direncanakan ditanam di halaman. Bagaimana saya sudah membayangkan betapa akan legitnya daging durian itu ketika saatnya ia berbuah, betapa akan manis-lembutnya buah mangga yang akan memenuhi mulut, dan betapa akan segarnya rambutan yang akan saya panen. Namun seperti halnya pada skena halaman rumah saya, terkadang ada juga hal-hal yang tidak kita rencanakan seperti pohon belimbung wuluh, yang tiba-tiba ada, yang tidak sesuai rencana, dalam hidup saya. Mungkin awalnya juga saya sebal karena ada hal yang tidak direncanakan itu dalam perjalanan saya, seperti juga saya sebal terhadap pohon belimbing wuluh. Namun sering kali justru hal tersebut sebenarnya memberi manfaat kepada orang-orang sekitar saya, yang bahkan tidak saya sadari awalnya.
Lagian kalau dipikir-pikir, jika indikator menjadi manusia yang baik adalah yang paling bisa bermanfaat untuk manusia lainnya, menjadi belimbing wuluh yang awalnya tidak direncanakan tapi bisa selalu membuat rasa sambel orang di sekitarmu lebih segar, tidak ada salahnya juga.
Langsung saja saya memberi pohon belimbing wuluh ⋆⋆⋆⋆ (4/5 bintang)
-------------
PS: Tulisan review ini terinspirasi dari salah satu episode podcast The Anthropocene Review favorit saya berjudul Gingko Biloba, di mana John Green mereview sebuah pohon Gingko Biloba. Tempo hari saya membahas episode podcast ini bersama teman saya, Astor (yang sekarang sudah menjadi pacar saya, ya selama itu saya prokrastinasi untuk membuat tulisan ini), dan kita sama-sama berjanji untuk membuat review tentang salah satu pohon pilihan kita seperti halnya John Green yang mereview Gingko Biloba.